Kelak manusia membangun hubungan romantis dengan para humanoid.

Sementara, saat ini, beberapa negara lain di dunia ini malah terjadi sebaliknya. Negara-negara di Benua Eropa, Amerika Serikat, Cina, bahkan Singapura, memiliki populasi yang menua. Mereka malah mencari anak-anak muda dari negara-negara lain untuk bekerja di negara mereka.

 

Sayangnya, bonus demografi bisa berpotensi menjadi bencana demografi seperti di Timur Tengah yang berakhir konflik dalam negeri. Hal ini karena jumlah anak muda dan orang usia produktif yang banyak sehingga menimbulkan banyak agitasi dan konflik. Hal inilah yang wajib dihindari negara kita.

 

Tantangan lainnya adalah mulai munculnya perkembangan trans-humanisme. Wujudnya adalah kehadiran humanoid atau robot-robot yang berbasis kecerdasan buatan untuk membantu manusia. Bahkan, diprediksi pula manusia nantinya akan bisa membangun hubungan romantis dengan para humanoid.

 

Pandemi Covid-19 pun mengubah dunia. Semua orang yang pada awalnya terbiasa tergesa-gesa dalam meraih sesuatu, menjadi lebih pelan karena harus menjaga jarak satu sama lain.

 

Tantangan anak-anak muda pun lebih bervariasi. Krisis ekonomi akibat pandemi dibandingkan krisis sebelumnya diduga jauh lebih dahsyat serta diprediksi akan terjadi di masa depan. Pada 2025 pun diprediksi krisis air akan mulai terasa secara fisik. Bumi, kata Faisal, telah mulai kekurangan air karena resapan mulai berkurang, adanya urbanisasi, lingkungan hidup yang rusak, dan lain-lain. “Itu nantinya akan mempengaruhi tatanan bagi generasi muda ke depan,” jelas Faisal.

Kita mengenal beberapa jenis generasi yang terjadi sejak masa perang. Apa sajakah?

Generasi Alpha

Generasi Alpha merupakan generasi putra putri bumi putra yang mendapatkan akses pendidikan setelah politik etis. Mereka terpapar berbagai wawasan yang lebih luas terkait internasionalisme, industrialisasi, humanisme, revolusi, dan lain-lain. “Mereka berkumpul dan melakukan suatu gerakan hingga mengimajinasikan Indonesia. Mereka berhasil meyakinkan bangsa Indonesia untuk merdeka,” jelas  Executive Director & Youth Researcher, Youth Laboratory Indonesia, PT Kreasi Pemuda Indonesia, Muhammad Faisal.

Generasi Theta

Ini merupakan generasi selanjutnya tepatnya pada akhir 1970-an. Itu seiring dengan adanya aktivisme di kampus. Banyak ekspresi musik rock dan musik keras yang muncul hingga memunculkan kultur underground. Mahasiswa aktivis penggulingan era orde baru termasuk dalam generasi ini.

Generasi X

Momentum kritisnya adalah pada saat perang ideologi Uni Soviet dan AS di mana komunisme melawan demokrasi kapitalis. Generasi itu memiliki aspirasi menyuarakan kelompok minoritas. Di akhir tahun 70-an, tepatnya tahun 1981, muncul Music Television yang membuat kultur kepopuleran anak muda memiliki gambaran jelas atau visual. Sehingga, saat itu munculah  raja dan ratu pop yaitu Michael Jackson dan Madonna.

Generasi Phi

Generasi ini merupakan generasi yang tidak memiliki kesamaan narasi. “Tidak ada doktrin, tidak ada kekangan, tidak ada larangan,” kata dia.

Generasi Silent

Ini merupakan generasi yang terpisah dari masa pengeboman wilayah Hiroshima dan Nagasaki di Jepang oleh AS. Disebut generasi Silent karena mereka adalah generasi yang memilih diam akibat bingung antara bergembira karena sekutu menang dalam peperangan dan sedih karena negaranya menjatuhkan bencana kepada negara lain.

Generasi Beta

Ini merupakan era orde baru. Para aktivis muda saat itu memutuskan untuk menjadi bagian dari pembangunan negara atau menjadi politikus penuh waktu. Di era itu pun banyak terjadi penyeragaman berbagai hal. Dan saat itu kultur barat diperbolehkan di Indonesia yang menyebabkan anak-anak muda mudah mengekspresikan cinta-cintaan.

Generasi Baby Boomers

Generasi ini mengekspresikan masa muda mereka lewat ekspresi kesenian. ''Semua disalurkan melalui festival, dan mereka mengutarakan aspirasi gerakan perdamaian dan benci terhadap perang,” jelas  Faisal.

Generasi Milenial

Ini adalah generasi selanjutnya yang lahir pada 1990-an ke atas. Generasi ini menikmati media sosial pertama kali dan menikmati kultur populer yang didominasi berasal dari Asia.

zac duran/UNSPLASH

FREEPIK

top

Pandemi Covid-19 sendiri menjadi momentum kritis bagi anak muda atau peristiwa pemisah antara satu generasi dengan generasi lain. Dalam sebuah riset olehnya dan rekannya, Taufan Akbari, menyebut ada beberapa kegelisahan yang terjadi sepanjang pandemi 2020 sampai awal 2021 lalu.

 

Kegelisahan itu antara lain takut tidak bertemu dengan jodoh, takut kehilangan pekerjaan, takut dan kecemasan terhadap sesuatu yang buruk akan terjadi, dan takut Covid-19 tidak akan selesai. Pada beberapa negara, kegelisahan ini justru mendorong anak-anak muda untuk melakukan perubahan hidup yang sangat berbeda dengan apa yang biasa mereka alami di kota. “Ini yang saya sebut generasi kembali ke akar. Dan ini yang membuat generasi muda lebih tangguh,” jelas dia.

 

Tantangan lainnya pada anak muda di masa depan adalah adanya permasalahan lingkungan hidup, masalah penyakit yang menular, kehidupan sosial yang akan terganggu, dan kehidupan sehari-hari yang semakin krisis.

 

Dari segi pekerjaan, beberapa bidang pekerjaan mungkin nantinya akan terganggu adalah bidang manufaktur, layanan makanan, transportasi. Ini yang akan mengubah pilihan-pilihan anak muda dalam memilih karier dan memilih institusi pendidikan di mana mereka akan belajar. “Masalah yang juga akan menjadi tantangan adalah tentang kesehatan mental. Ini sudah kita dengar dalam tiga tahun terakhir. Jadi di tengah serba mudah akses kemudahan hidup, anak muda malah lebih mengalami kegelisahan daripada generasi sebelumnya,” jelas Faisal.

freepik

akson/unsplash

Generasi ke Generasi

Perjuangan Generasi Phi

Generasi Z ada 11 persen, milenal ada 28 persen, dan juga gen X ada 22 persen. Artinya 70 persen penduduk saat ini adalah orang-orang muda.

karakter resilien dan kegigihan menjadi kunci untuk tak menyerah, optimistis, mampu berkolaborasi agar bisa bertahan hidup.

Prof Slamet Iman Santoso, pendiri Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, pernah berujar,''Masa muda adalah projective years atau memproyeksikan apa yang terjadi di usia selanjutnya.''

 

Artinya, apa yang terjadi pada anak-anak muda saat ini, kemungkinan akan memproyeksikan apa yang terjadi pada masa depan nanti.

 

Executive Director & Youth Researcher, Youth Laboratory Indonesia, PT Kreasi Pemuda Indonesia, Muhammad Faisal, mengutip data dari Badan Pusat Statistik Nasional (BPS) tahun 2021, mengungkapkan bahwa populasi penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh anak-anak muda. “Generasi Z ada 11 persen, milenal ada 28 persen, dan juga gen X ada 22 persen. Artinya 70 persen penduduk saat ini adalah orang-orang muda,” ungkap dia.

 

Angka ini, kata Faisal, bisa berpotensi menghadirkan kekuatan sosial. Namun ini juga bisa menjadi satu masalah, baik dalam lingkup sesama anak muda maupun anak muda dengan generasi senior.

 

Generasi milenial sering didekatkan dengan narasi pasar. Konsep revolusi industri 4.0 sendiri ditopang oleh tiga kata kunci, yaitu otomatisasi, kecerdasan buatan, dan digitalisasi. Ini menjadi tantangan lagi bagi generasi muda ke depan.  “Percepatan teknologi eksponensial terjadi pada tahun 2000 di mana perkembangan teknologi menukik tajam ke atas. Percepatan teknologi juga diprediksi akan terjadi pada sekitar 2030,” jelas dia.

 

Menurut Faisal, hal itu pun telah terwujud dalam kehidupan sehari-hari kita. Beberapa tokoh seperti Elon Musk sering membuat inovasi-inovasi teknologi di kehidupan sehari-hari. Di gudang niaga elektronik Amazon di Amerika Serikat pun telah memberlakukan robot-robot kecil untuk merapikan dan memilih barang-barang yang akan dikirim oleh konsumen.  “Jadi anak muda sekarang dipersiapkan untuk kobotiks atau kolaborator robot atau asisten robot. Dunia sekarang sudah mengarah ke sana,” jelas Faisal.

 

Kondisi itu pun menghadirkan tantangan tersendiri untuk anak muda. Pertama adalah bonus demografi. “Di mana usia produktif 15 tahun sampai 64 tahun meningkat secara signifikan yang akan terjadi sampai kira-kira 2035 atau bahkan lebih lama sampai 2040,” jelas Faisal dalam perbincangan Professional Women’s Week yang disimak secara virtual.

Generasi ke depan pun saat ini masih menjadi pertanyaan. Menurut Executive Director & Youth Researcher, Youth Laboratory Indonesia, PT Kreasi Pemuda Indonesia, Muhammad Faisal, generasi ke depan belum tentu memiliki karakter baru. Dalam sejarah, terdapat teori gerak sirkular, yang memungkinkan karakter generasi baru di depan justru mengulang karakter generasi yang lama.

 

Salah satu cirinya adalah munculnya komunitas tumbuh menggeliat di era media sosial. Ini merupakan karakter yang sama pada generasi pejuang yaitu generasi alpha di mana mereka suka berkomunitas.

 

Hal yang menarik pula, para pemuda pemudi generasi alpha juga pernah mengalami pandemi Flu Spanyol yang terjadi pada 1917 sampai 1919. “Pada saat itu Bung Karno, Buya Hamka, dan Bung Hatta usia berapa? Belasan tahun. Dan pandemi membuat mereka menjadi jauh lebih tangguh. Ketika mereka dewasa mereka memiliki resilient yang lebih hebat,” jelas Faisal.

 

Seorang ibu memiliki peran penting membentuk generasi pejuang di tengah keluarga. Tampaknya itulah yang dibutuhkan oleh Generasi Phi, generasi  yang lahir pada 1989-2000.  Satu saat orang-orang Generasi Alpha, Beta, dan Theta tak lagi hidup di masa depan, masa di mana Generasi Phi masih hidup.  “Generasi Phi nanti yang akan menentukan bagaimana imajinasi Indonesia ke depan seperti apa. Dan itu dimulai dari keluarga. Peran ibu akan menjadi sangat sentral,” kata Faisal.

Oleh karena Generasi Phi tengah mengalami momentum kritis yaitu pandemi Covid-19 yang akan mengubah karakternya, Faisal memprediksi beberapa kearifan yang mungkin terjadi setelah pandemi pada generasi muda saat ini. Anak muda akan lebih jauh lebih filosofis, ingin tahu lebih dalam, memiliki idealisme, dan memiliki pertemanan yang bermakna.

 

Faisal meminta orang tua saat ini tak hanya melihat “hasil” generasi muda hanya dari pekerjaan yang digelutinya sekarang, melainkan karakter mereka. Karakter itu meliputi hubungan sosial, integritas dan akhlak, literasi Indonesia luar dalam, kebhinekaan, resiliensi dan kegigihan masing-masing individu, dan mindfulness. “Mindfulness adalah karakter yang menggambarkan ketenangan batin yang bisa dicapai saat dalam kesendirian. Generasi yang bertahan dari pandemi Covid-19 saat ini, akan memiliki ketenangan yang akhirnya bisa masuk ke relung diri sendiri, dan menemukan jati dirinya sendiri, tanpa harus membandingkan dengan orang lain,” jelas dia.

 

Karakter hubungan sosial wajib dimiliki oleh generasi muda pascapandemi karena tantangan ke depan adalah kehidupan harmonis di seluruh dunia akan terganggu. Karakter literasi Indonesia juga menjadi penting mengingat kondisi masa depan yang membuat anak-anak muda mengalami fase globalisasi yang lebih hebat lagi. Anak-anak Indonesia harus memiliki bekal yang kuat mengenai Indonesia.

 

Sedangkan karakter kebhinekaan juga wajib dimiliki sebagai bekal untuk hidup yang harmonis di masa depan. ‘’Sementara karakter resilien dan kegigihan menjadi kunci untuk tak menyerah, optimistis, mampu berkolaborasi agar bisa bertahan hidup,’’ ujar Faisal.

Momentum Kritis

Anak Muda

Setelah perang dunia, semua bangsa diyakini memiliki rasa optimisme dan fokus dalam pemulihan dalam pencapaian kesejahteraan hidup. Sehingga, para generasi Silent menikah dan beranak pinak banyak sekali karena adanya pandangan optimisme mereka.

Kultur populer barat dianggap sebagai imperialisme saat itu. Beberapa band dari barat dilarang diperdengarkan di Indonesia. Sementara generasi tersebut pada tahun 1950-an berhasil mengekspresikan berbagai seni dengan nuansa yang nasionalis dan berasal dari kearifan lokal.